CerPen
Kematian Yang Tertunda
Hari itu, matahari bersinar dengan cerahnya menerpa wajahku. Kicauan burung yang merdu merasuk dalam mimpiku. Aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Terpintas dalam pikiranku, ternyata hari ini adalah hari terakhirku di rumah dan sore ini aku harus kembali ke medan bertempurku di pesantren. Aku langsung menghampiri ibuku dan berkata, “Ma, hari ini aku akan balik ke pontren. Aku mau bawa makanan buat teman-teman dan tukang masak pesantren karena selama ini, aku tidak pernah memberinya sesuatu padahal dia sering memberiku makanan yang enak.” Lalu ibu berkata, “Oh iya! Dekat sini ada penjual kue lapis. Harganya juga cukup murah dan cukup buat teman-teman kamu. Segera aku mengambil kunci motor dan mengantar mama ke tempat penjual tersebut. Aku membeli dua kotak kue dan aku pun segera memasukkannya ke dalam ranselku dan menyiapkan segala sesuatu yang aku butuhkan.
Waktu berlalu terlalu cepat, tiba-tiba cuaca berubah. Matahari semakin pudar oleh awan gelap yang menyelimutinya. “Kapan kamu akan pulang? Karena jika terlalu lama, hujan akan turun dan bisa-bisa kamu nggak jadi lagi pulangnya.” tanya mama. “Ah, nggak apa-apa kok ma. Malahan lebih seru dong. Jadinya lebih lama tinggal di rumah.” Lalu mama menasehati, “Kamu ini ada-ada saja! Mama kan mau kalau masuk ke pontren itu kamu bisa menjadi anak yang berguna nantinya dan bisa bahagiakan orangtua. Lebih baik kamu coba tanya sama bapak kapan kamu akan pulang.” Aku langsung menuju kepada bapak, “Pak, kapan baiknya aku pulang?” Bapak menjawab, “Nanti saja! Nanti kalau bapak sudah pulang dari kantor karena sekarang bapak mau meeting di kantor dan akan kembali sekitar pukul 04.00 sore nanti”
Sambil menuggu kedatangan bapak dari kantor, aku berbaring di kamar sambil sms-an ma teman. Dan tidak terasa, aku tertidur. Tak lama aku tidur, tiba-tiba telepon berdering dengan suara deringannya yang membangunkan tidurku. Kakak perempuanku bernama Hilmy yang sekarang duduk di bangku SMA, mengangkat telepon dan berbicara. Alangkah kagetnya aku bagaikan rumah ini hancur dan menerpaku, perasaan tidurku tiba-tiba hilang, segalanya hilang dari anganku dan tertuju pada sesuatu. Hidup ini bagaikan tak ada gunanya lagi setelah mendengar kabar bahwa bapakku kecelakaan dan sekarang dia dirawat di RSU Tipe C Parepare. Menurut kabar, kepala bapak pecah dan harus secepatnya di operasi. Mendengar kabar tersebut, seluruh anggota keluargaku kaget. Dengan tetesan air mata yang mencucur tiada hentinya, kakak laki-lakiku yang bernama Nur segera menelepon dokter yang akan mengoperasi bapak. Tetapi, dokter tersebut tidak mau mengoperasi bapakku sebelum ia ditransferkan uang sebesar Rp 11.000.000,-. Karena ada sebuah obat yang tidak dimiliki oleh rumah sakit tersebut sehingga obat tersebut harus segera dibeli. Tanpa obat tersebut, bapakku tidak bisa dioperasi. Tanpa berpikir panjang, mama langsung melepas cincinya dan memberinya kepada Hilmy untuk digadaikan guna memudahkan biaya operasi. Mama juga pergi ke rumah tetangga untuk meminjam uang. Nur berusaha menghubungi keluarga terdekat yang bisa membantu dan memberi kabar seluruh keluarga yang ada di kampung.
Adik kecilku yang bernama Khaerul terlihat kebingungan melihat mama dan kakak-kakaknya yang mencucurkan air matanya tanpa henti. Aku hanya bisa tegar berdo’a kepada Allah, “Ya Allah, apakah ini cobaan yang kau berikan pada kami? Apa salah kami pada-Mu Ya Tuhan? Apa salah bapak kepada-Mu Ya Allah?” Aku dan seluruh anggota keluarga bersiap-siap menuju RSU Tipe C. Nur telah mengeluarkan mobil dari garasi. Aku selalu mengingat pesan yang pernah bapak sampaikan padaku. Aku pernah bertanya, “Pak, nanti aku mau kuliah di Jogja pak. Gimana pendapat bapak?” bapak menjawab, “Ah, nggak usah kesanalah. Bapak kan nyuruh kamu untuk hafal Al-Qur’an terus bisa kuliah di Mesir. Coba liat kakekmu, Ustadz Halim. Bagaimana hebatnya dia dalam berbahasa Arab. Sampai-sampai waktu bapak masih sekolah dulu di Parepare, jika bapak punya PR Bahasa Arab, pasti saya langsung ke rumahnya. Karena kalau soal Bahasa Arab, bapak sangat sukar dalam mencernanya. Oleh karena itu, bapak mau kalau anak-anak bapak semuanya jago dalam berbahasa Arab.” Kata-kata itu menjadi prinsip yang kupegangi dalam belajar. Sementara mempersiapkan kebutuhan di rumah sakit nanti, tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara jeritan yang amat mengguncang telinga. Aku, mama, dan Nur segera berlari ke dalam dengan perasaan penasaran. Ternyata, itu adalah jeritan dari kakakku, Hilmy. “Ada apa nak? Kenapa menjerit seperti itu? Mama tau, kamu tidak bisa menerima kenyataan ini, tapi ini semua telah ditakdirkan oleh Allah” kata mama sambil menagis terseduh dan memeluk tubuh Hilmy dengan erat. Tiba-tiba kakak perempuanku itu tersenyum dan terlihat harapan-harapan yang terlukis di wajahnya. Dia langsung mengambil handphonenya dan terlihat menelepon seseorang. Alangkah kagetnya aku mendengar suara itu. Hati ini terasa diselimuti oleh sejuknya embun di langit. Ternyata suara itu adalah suara bapakku yang sedang rapat di kantor. Ibuku langsung jatuh terbaring di lantai dengan perasaan lega dan tenang. Semuanya berusaha menenangkan diri dan memanjatkan rasa syukur yang teramat dalam kepada Allah SWT.
Sejenak ketenangan itu kami rasakan, datang rasa penasaran dari dalam diri masing-masing. “Lalu siapa sebenarnya orang yang akan dioperasi tersebut? Apa orang tersebut benar-benar mirip namanya dengan bapak? Ataukah dokter itu hanya berbohong?” kataku. Kakakku, Nur, memberi penjelasan bahwa ini semua hanyalah tipuan yang dilakukan oleh orang yang biasanya butuh uang dan untuk mendapatkannya, maka digunakanlah cara seperti ini.
Tak lama setelah kejadian itu, suara motor yang biasanya membangunkanku dari tidur terdengar dari luar. Makin lama, suara itu makin mendekat. Aku berlari keluar dan memeluk bapak dengan erat dengan berjatuhan air mata betapa bahagianya aku melihat bapak pulang dalam keadaan sehat wal afiat. Mama pun menceritakan semua kejadian itu pada bapak. Mendengar cerita itu, bapak langsung berkata di hadapan kami semua, “Walaupun mama mengirimkan uang 10 juta itu atau bahkan satu karung uang, maka tidak mungkin saya bisa hidup kalau memang itu sudah ajal. Karena ajal itu telah ditentukan oleh Allah. Biarkan saja aku mati dan sekali-kali, jangan pernah mempercayai berita seperti itu jika berita itu belum jelas.” Dengan lantangnya bapak menyampaikan hal itu. Bapak juga mengajarkan pada saya salah satu trik buat saya ketika menghadapi kejadian seperti ini. Caranya adalah cobalah hembuskan nafasmu ke tangan kanan. Jika dikabarkan yang meninggal itu adalah seorang laki-laki, maka jika hembusan nafas lubang hidung yang kanan lebih kuat maka Insya Allah kabar itu benar. Tetapi jika yang lebih kuat adalah bagian kirinya, maka kemungkinan besar kejadian itu tidak benar. Begitu pula sebaliknya, jika yang dikabarkan adalah wanita, maka jika hembusan yang kiri lebih kuat maka berita tersebut Insya Allah benar tetapi jika hembusan yang kanan lebih kuat maka kemungkinan besar itu tidak benar.
Setelah semuanya berakhir, aku kembali berkemas-kemas dan bersiap untuk kembali ke pontren. Aku berpamitan kepada bapak dan ibu serta adik dan kakak-kakakku. Aku diantar keluar oleh kakakku, Nur untuk mencari mobil. Biasanya aku menunggu mobil di depan Bank BRI. Karena itu adalah salah satu jalur mobil pete-pete yang sering aku tumpangi untuk ke Parepare. Mobil telah datang. Aku akan meniggalkan segala kenanganku di kotaku ini, di Kota Pinrang yang berseri. Tempat segala kenanganku berasal dan segala anganku tercipta bersama bapak dan ibu, serta adik dan kakak-kakakku. Selamat tinggal semuanya. Aku akan terus berusaha dalam menggapai anganku dan kembali membawa harapan dan kebanggan bagi seluruh keluarga.
Hari itu, matahari bersinar dengan cerahnya menerpa wajahku. Kicauan burung yang merdu merasuk dalam mimpiku. Aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Terpintas dalam pikiranku, ternyata hari ini adalah hari terakhirku di rumah dan sore ini aku harus kembali ke medan bertempurku di pesantren. Aku langsung menghampiri ibuku dan berkata, “Ma, hari ini aku akan balik ke pontren. Aku mau bawa makanan buat teman-teman dan tukang masak pesantren karena selama ini, aku tidak pernah memberinya sesuatu padahal dia sering memberiku makanan yang enak.” Lalu ibu berkata, “Oh iya! Dekat sini ada penjual kue lapis. Harganya juga cukup murah dan cukup buat teman-teman kamu. Segera aku mengambil kunci motor dan mengantar mama ke tempat penjual tersebut. Aku membeli dua kotak kue dan aku pun segera memasukkannya ke dalam ranselku dan menyiapkan segala sesuatu yang aku butuhkan.
Waktu berlalu terlalu cepat, tiba-tiba cuaca berubah. Matahari semakin pudar oleh awan gelap yang menyelimutinya. “Kapan kamu akan pulang? Karena jika terlalu lama, hujan akan turun dan bisa-bisa kamu nggak jadi lagi pulangnya.” tanya mama. “Ah, nggak apa-apa kok ma. Malahan lebih seru dong. Jadinya lebih lama tinggal di rumah.” Lalu mama menasehati, “Kamu ini ada-ada saja! Mama kan mau kalau masuk ke pontren itu kamu bisa menjadi anak yang berguna nantinya dan bisa bahagiakan orangtua. Lebih baik kamu coba tanya sama bapak kapan kamu akan pulang.” Aku langsung menuju kepada bapak, “Pak, kapan baiknya aku pulang?” Bapak menjawab, “Nanti saja! Nanti kalau bapak sudah pulang dari kantor karena sekarang bapak mau meeting di kantor dan akan kembali sekitar pukul 04.00 sore nanti”
Sambil menuggu kedatangan bapak dari kantor, aku berbaring di kamar sambil sms-an ma teman. Dan tidak terasa, aku tertidur. Tak lama aku tidur, tiba-tiba telepon berdering dengan suara deringannya yang membangunkan tidurku. Kakak perempuanku bernama Hilmy yang sekarang duduk di bangku SMA, mengangkat telepon dan berbicara. Alangkah kagetnya aku bagaikan rumah ini hancur dan menerpaku, perasaan tidurku tiba-tiba hilang, segalanya hilang dari anganku dan tertuju pada sesuatu. Hidup ini bagaikan tak ada gunanya lagi setelah mendengar kabar bahwa bapakku kecelakaan dan sekarang dia dirawat di RSU Tipe C Parepare. Menurut kabar, kepala bapak pecah dan harus secepatnya di operasi. Mendengar kabar tersebut, seluruh anggota keluargaku kaget. Dengan tetesan air mata yang mencucur tiada hentinya, kakak laki-lakiku yang bernama Nur segera menelepon dokter yang akan mengoperasi bapak. Tetapi, dokter tersebut tidak mau mengoperasi bapakku sebelum ia ditransferkan uang sebesar Rp 11.000.000,-. Karena ada sebuah obat yang tidak dimiliki oleh rumah sakit tersebut sehingga obat tersebut harus segera dibeli. Tanpa obat tersebut, bapakku tidak bisa dioperasi. Tanpa berpikir panjang, mama langsung melepas cincinya dan memberinya kepada Hilmy untuk digadaikan guna memudahkan biaya operasi. Mama juga pergi ke rumah tetangga untuk meminjam uang. Nur berusaha menghubungi keluarga terdekat yang bisa membantu dan memberi kabar seluruh keluarga yang ada di kampung.
Adik kecilku yang bernama Khaerul terlihat kebingungan melihat mama dan kakak-kakaknya yang mencucurkan air matanya tanpa henti. Aku hanya bisa tegar berdo’a kepada Allah, “Ya Allah, apakah ini cobaan yang kau berikan pada kami? Apa salah kami pada-Mu Ya Tuhan? Apa salah bapak kepada-Mu Ya Allah?” Aku dan seluruh anggota keluarga bersiap-siap menuju RSU Tipe C. Nur telah mengeluarkan mobil dari garasi. Aku selalu mengingat pesan yang pernah bapak sampaikan padaku. Aku pernah bertanya, “Pak, nanti aku mau kuliah di Jogja pak. Gimana pendapat bapak?” bapak menjawab, “Ah, nggak usah kesanalah. Bapak kan nyuruh kamu untuk hafal Al-Qur’an terus bisa kuliah di Mesir. Coba liat kakekmu, Ustadz Halim. Bagaimana hebatnya dia dalam berbahasa Arab. Sampai-sampai waktu bapak masih sekolah dulu di Parepare, jika bapak punya PR Bahasa Arab, pasti saya langsung ke rumahnya. Karena kalau soal Bahasa Arab, bapak sangat sukar dalam mencernanya. Oleh karena itu, bapak mau kalau anak-anak bapak semuanya jago dalam berbahasa Arab.” Kata-kata itu menjadi prinsip yang kupegangi dalam belajar. Sementara mempersiapkan kebutuhan di rumah sakit nanti, tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara jeritan yang amat mengguncang telinga. Aku, mama, dan Nur segera berlari ke dalam dengan perasaan penasaran. Ternyata, itu adalah jeritan dari kakakku, Hilmy. “Ada apa nak? Kenapa menjerit seperti itu? Mama tau, kamu tidak bisa menerima kenyataan ini, tapi ini semua telah ditakdirkan oleh Allah” kata mama sambil menagis terseduh dan memeluk tubuh Hilmy dengan erat. Tiba-tiba kakak perempuanku itu tersenyum dan terlihat harapan-harapan yang terlukis di wajahnya. Dia langsung mengambil handphonenya dan terlihat menelepon seseorang. Alangkah kagetnya aku mendengar suara itu. Hati ini terasa diselimuti oleh sejuknya embun di langit. Ternyata suara itu adalah suara bapakku yang sedang rapat di kantor. Ibuku langsung jatuh terbaring di lantai dengan perasaan lega dan tenang. Semuanya berusaha menenangkan diri dan memanjatkan rasa syukur yang teramat dalam kepada Allah SWT.
Sejenak ketenangan itu kami rasakan, datang rasa penasaran dari dalam diri masing-masing. “Lalu siapa sebenarnya orang yang akan dioperasi tersebut? Apa orang tersebut benar-benar mirip namanya dengan bapak? Ataukah dokter itu hanya berbohong?” kataku. Kakakku, Nur, memberi penjelasan bahwa ini semua hanyalah tipuan yang dilakukan oleh orang yang biasanya butuh uang dan untuk mendapatkannya, maka digunakanlah cara seperti ini.
Tak lama setelah kejadian itu, suara motor yang biasanya membangunkanku dari tidur terdengar dari luar. Makin lama, suara itu makin mendekat. Aku berlari keluar dan memeluk bapak dengan erat dengan berjatuhan air mata betapa bahagianya aku melihat bapak pulang dalam keadaan sehat wal afiat. Mama pun menceritakan semua kejadian itu pada bapak. Mendengar cerita itu, bapak langsung berkata di hadapan kami semua, “Walaupun mama mengirimkan uang 10 juta itu atau bahkan satu karung uang, maka tidak mungkin saya bisa hidup kalau memang itu sudah ajal. Karena ajal itu telah ditentukan oleh Allah. Biarkan saja aku mati dan sekali-kali, jangan pernah mempercayai berita seperti itu jika berita itu belum jelas.” Dengan lantangnya bapak menyampaikan hal itu. Bapak juga mengajarkan pada saya salah satu trik buat saya ketika menghadapi kejadian seperti ini. Caranya adalah cobalah hembuskan nafasmu ke tangan kanan. Jika dikabarkan yang meninggal itu adalah seorang laki-laki, maka jika hembusan nafas lubang hidung yang kanan lebih kuat maka Insya Allah kabar itu benar. Tetapi jika yang lebih kuat adalah bagian kirinya, maka kemungkinan besar kejadian itu tidak benar. Begitu pula sebaliknya, jika yang dikabarkan adalah wanita, maka jika hembusan yang kiri lebih kuat maka berita tersebut Insya Allah benar tetapi jika hembusan yang kanan lebih kuat maka kemungkinan besar itu tidak benar.
Setelah semuanya berakhir, aku kembali berkemas-kemas dan bersiap untuk kembali ke pontren. Aku berpamitan kepada bapak dan ibu serta adik dan kakak-kakakku. Aku diantar keluar oleh kakakku, Nur untuk mencari mobil. Biasanya aku menunggu mobil di depan Bank BRI. Karena itu adalah salah satu jalur mobil pete-pete yang sering aku tumpangi untuk ke Parepare. Mobil telah datang. Aku akan meniggalkan segala kenanganku di kotaku ini, di Kota Pinrang yang berseri. Tempat segala kenanganku berasal dan segala anganku tercipta bersama bapak dan ibu, serta adik dan kakak-kakakku. Selamat tinggal semuanya. Aku akan terus berusaha dalam menggapai anganku dan kembali membawa harapan dan kebanggan bagi seluruh keluarga.
0 comments: