Dan Jawabannya adalah PBSB

Menjadi seorang santri di sebuah Pondok Pesantren tepatnya di Pondok Pesantren Al-Badar DDI Bilalang Kota Parepare Sulawesi Selatan menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi saya, baik di kalangan keluarga maupun di kalangan masyarakat. Hidup di tengah 2 kakak dan 2 adik menjadi sebuah tantangan bagi saya untuk menjadi contoh bagi kedua adik saya dan menjadi evaluator bagi kedua kakak saya. Saya sangat merasa beruntung bisa menimba ilmu di Pondok Pesantren. Selain karena tuntutan agama, juga karena kemandirian serta ilmu yang bermanfaat menjadi salah satu hal yang menjadikan Pondok Pesantren lebih bernilai dibandingkan pendidikan lainnya. Dan itu menjadi pembentuk karakter santri yang secara tidak langsung membentuk kepribadian para santri yang menjadi penerus generasi muda ke depan dengan menjunjung tinggi Ilmu Agama serta Akhlakul Karimah yang baik.
Saya pun memulai menuntu Ilmu di Pondok Pesantren Al-Badar DDI Parepare pada tahun 2005 pada jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs). Di tahun pertama cukup terasa bagaimana harus berpisah dengan orang tua dan memulai hidup mandiri bersama teman-teman lainya. Selama 3 tahun dipenuhi dengan warna-warni kehidupan Pondok Pesantren, akhirnya tibalah saatnya saya harus meninggalkan masa-masa MTs dan harus menimba ilmu yang lebih banyak lagi pada jenjang SMA. Di awal, sempat terpikirkan untuk melanjutkan pendidikan di SMA ataupun MAN yang berada tidak jauh dari rumah. Karena rumah saya berbeda kabupaten dengan pondok saya. Sehingga terkadang rindu terhadap orang tua tak bisa dihindari. Tapi, begitulah kami ditempa untuk menjadi orang yang mandiri. Hidup tanpa orang tua, dengan mengurus diri sendiri sehari-harinya. Bukan berarti kita tidak memperdulikan orangtua. Tetapi bagaimana kita membiasakan diri tanpa harus bergantung terus kepada orang tua mengenai kebutuhan hidup dan sebagainya. Mencoba untuk memulai membalas jasa-jasa orang tua dengan membahagiakannya dan menjadi anak yang dapat hidup mandiri.
Karena batin terasa sudah terikat oleh suasana Pondok Pesantren yang telah dijalani selama tiga tahun dan memberikan kesan-kesan yang cukup sulit untuk dilupakan, sehingga saya memilih untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang Madrasah Aliyah (MA) di Pondok Pesantren Al-Badar DDI Parepare. Tak jauh berbeda dengan masa-masa MTs, hidup tetap harus mandiri bersama teman-teman santri seperjuangan. Dan tantangan pertama yang saya dapatkan adalah menjadi “pelayan” bagi santri lainnya yaitu menjadi seorang (Organisasi Santri Pondok Pesantren Al-Badar), serupa dengan OSIS pada umumnya. Namun, untuk memberikan ciri khas tertentu bahwa organisasi tersebut memiliki sesuatu yang lebih daripada organisasi OSIS pada umumnya, maka disisipkanlah nama Pondok Pesantren Al-Badar pada organisasi ini. Dan tentunya tak sekedar nama, namun memang di dalamnya juga terdiri dari para santri yang tergabung dari jenjang MTs hingga MA.
Setahun lamanya menjadi pelayan bagi para santri lainnya cukup memberikan warna lagi pada dunia organisasi saya. Selain itu, saya mengikuti kegiatan kepramukaan dan berhasil lolos hingga tahap provinsi, dimana kami harus bersaing dengan puluhan kabupaten lain di Sulawesi Selatan untuk mereput 5 tiket menuju Jambore Nasional di Bandung saat itu. Jambore Nasional yang diadakan oleh Kemenag ini juga pernah diikuti oleh kakak kelas saya yang sebelumnya mampu meraih tiket Jambore Nasional di Cibubur. Sehingga kali ini, saya dan teman-teman pun optimis untuk bisa melanjutkan budaya kakak kelas. Namun, Tuhan berkehendak lain. Sore hari saat pengumuman tiket Jamnas disampaikan pada upacara penutupan, nama kontingen putra dari pondok kami tak disebut yang mengindikasikan bahwa kami tak mendapat kesempatan untuk berangkat ke Bandung bersama kontingen lain untuk bersaing dengan ribuan santri lainnya pada Jambore tingkat nasional. Anehnya, kontingen putri dari pondok saya, berhasil merah satu dari 5 tiket untuk berangkat ke Bandung. Karena terdapat 5 tiket putra dan 5 tiket putri. Sehingga semua berjumlah 10 kontingen yang terdiri dari 5 kontingen putra dan 5 kontingen putri. Karena pondok saya merupakan pondok putra sedangkan pondok putrinya dipisahkan cukup jauh dari pondok putra. Namun, tetap dalam satu lingkup pimpinan pondok, yaitu Prof. DR. K.H. Abd. Muiz Kabry. Saya sangat menyesalkan hal ini. Karena biasanya yang mendapat tiket itu berasal dari putra dan putri dengan kontingen yang sama. Namun, saya berusaha menerima dengan mengikhlaskan saja. Mungkin semua ada hikmahnya. Tuhan selalu menyediakan rencana terbaik bagi hamba-Nya. Karena Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tetapi Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan.
Di tahun selanjutnya, dihadapkan lagi dengan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Pondok Pesantren yang harus melewati 3 tahap seleksi untuk bisa mengikuti Porseni tingkat Nasional. Di awal, saya mengikuti cabang pertandingan volley putra. Tahap awal, diseleksi tingkat pondok pesantren. Jadi, saya harus menunjukkan kemampuan maksimal untuk terpilih menjadi pemain diantara teman-teman sendiri. Namun, pertengahan seleksi tersebut, saya mendapat tawaran dari ustadz untuk mengikuti lomba seni cabang Pidato Bahasa Inggris. Tentunya saya merasa sangat keberatan untuk mengikuti lomba tersebut. Selain harus meningkatkan kepercayaan diri, juga harus meningkatkan kemampuan verbal dalam menyampaikan kalimat secara fasih dan interaktif. Tentunya ini menjadi tantangan besar bagi saya.
Dimulai dari seleksi dalam lingkup pondok pesantren, lingkup daerah, hingga lingkup provinsi semua terjelajahi dengan membawa sebuah naskah berbahasa inggris yang disampaikan dalam pidato. Namun, mungkin karena kendaraan perlu diisi bahan bakarnya sehingga alhasil saya harus terhenti pada tingkat provinsi dengan menyerahkan kepada orang lain untuk melanjutkan perjuangan naskah berbahasa inggris hingga tingkat nasional untuk mewakili kontingen Sulawesi Selatan pada saat itu. Dan lagi-lagi, saya kehilangan kesempatan untuk menginjakkan kaki di tanah lain selain pulau Sulawesi ini.
Terkadang saya berfikir, tahukah Anda bagaimana rasanya menjadi seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri dan terbaik di Indonesia? Apalagi dengan tidak menduga sebelumnya bahwa Anda adalah salah satu orang yang diberikan kesempatan berkuliah tanpa biaya apapun? Tentunya hal itu merupakan impian kebanyakan siswa saat ini. Termasuk saya, seorang santri dari Pondok Pesantren Al-Badar DDI Parepare. Pernah saya bertanya-tanya, ketika melihat seorang siswa SMA yang mendapat kesempatan untuk berkuliah secara gratis tanpa biaya apapun melalui beasiswa-beasiswa yang ditawarkan oleh berbagai instansi negara, adakah santri juga layak mendapatkan hal serupa? Mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di perguruan tinggi negeri favorit tanpa biaya apapun. Dan saat ini, saya sedang berada pada tahap sarjana semester 3 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Dan pertanyaan tersebut telah terjawab 2 tahun yang lalu dimana status saya masih seorang santri di Pondok Pesantren Al-Badar DDI Parepare, sekarang telah beralih menjadi santri di ITS Surabaya. Semua terjawab melalui Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) yang diadakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI, yang memberikan beasiswa kepada para santri Pondok Pesantren untuk berkuliah di beberapa PTN terfavorit di seluruh Indonesia.
Di ITS, saya mendapat keluarga baru yang sejak awal telah menyambut saya dan memandu saya terkait kehidupan saya di ITS. Hingga saat ini, keluarga baru inilah yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian saya dan adaptasi saya di dunia kampus. Keluarga baru ini saya sebut dengan CSSMoRA ITS dan memang itulah nama organisasinya. Semua berawal ketika saya dating pertama kali ke ITS.Di awal ku menginjakkan kaki di kampus  ITS Surabaya, yang pertama menyambut saya adalah CSS MoRA ITS. Dialah Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Setelah lulus dari SMA, saya memutuskan untuk mengikuti program beasiswa yang diadakan oleh Kemenag RI. Dan Alhamdulillah, Allah mengizinkan saya untuk bertwmu CSS MoRA ITS setelah saya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliah di ITS Surabaya.
CSS MoRA ITS, yang selama ini saya ketahui adalah sebuah organisasi yang terdiri dari para santri yang juga mengikuti program beasiswa dari Kemenag dan melanjutkan perkuliahan di ITS. CSS MoRA ITS ini adalah sebuah keluarga baru bagi saya untuk memulai perkuliahan di ITS selama 4 tahun ke depan InsyaAllah. Di awal, saya masih merasa sungkan dan selalu berpikiran yang aneh-aneh. Apalagi saat ini saya sudah menyandang status Mahasiswa Baru di perguruan tinggi. Pandangan saya selama di pondok mengenai Mahasiswa Baru selalu terpanah kepada yang namanya ‘penyiksaan’ terhadap mahasiswa baru oleh mahasiswa junior. Kita akan digembleng dan dipermainkan oleh senior-senior yang telah lama berada di jurusan tersebut. Namun, ketika bertemu CSS MoRA ITS, saya merasakan adanya perbedaan yang cukup signifikan dan sedikit merubah pola pikir saya selama ini. CSS MoRA ITS justru menyambut kedatangan saya dengan sangat baik sebagai seorang anggota keluarga yang baru. Tidak ada kata senior ataupun junior! Yang ada hanyalah anggota keluarga CSS MoRA ITS. Dan saya sebagai pendatang baru akan menjadi salah satu bagian dari keluarga ini. Dan dari sinilah saya mulai kehidupan baru saya sebaai seorang Mahasantri yang menempuh kuliah bersama keluarga baru CSS MoRA ITS.
CSS MoRA ITS, tak dapat saya pungkiri bahwa sebenarnya dari situlah saya lahir dan diberikan berbagai pengetahuan mengenai apa yang akan saya hadapi ke depannya. Tak henti-hentinya saya diberikan motivasi serta solusi terhadap masalah saya. Dan sungguh sangat durhakalah saya sebagai seorang anggota keluarga yang
Dan kini, tibalah saatnya saya untuk memberikan balasan, mengabdikan diri dan membayar semua yang telah CSS MoRA ITS berikan kepada saya selama ini. Dengan menjadi anggota kepengurussan dari organisasi ini, saya sudah bisa memulai pengabdian saya kepada CSS MoRA ITS untuk selalu mengembangkan dan memajukan organisasi ini. Baik dalam hal pengembangannya dalam internal, maupun partisipasinya di masyarkat luas.
Namun, salah satu masalah yang mungkin dialami oleh organisasi ini adalah kurangnya eksistensi CSS MoRA ITS, baik di lungkungan ITS maupun masyarakat. Menurut saya, hal ini terjadi karena adanya masalah-masalah yang dihadapi oleh CSS MoRA ITS sendiri. Yang pernah saya dengar adalah karena organisasi ini dianggap terlalu tertutup. Sehingga, ke depannya diharapkan adanya tindak lanjut dari CSS MoRA ITS untuk selalu terbuka dan dapat dipandang baik oleh pihak ITS. Sehingga, CSS MoRA ITS akan dianggap sebagai salah satu keluarga pula di lingkup ITS yang akan memajukan ITS.
Dan itu adalah sekelumit gambaran dari CSSMoRA ITS serta keberadaan dan peras sertanya di ITS. Sekarang kembali ke masa perkuliahan, tak hanya dari CSSMoRA ITS, proses pembentukan karakter atau disini kami menyebutnya dengan kata Pengkaderan, yaitu proses penanaman komitmen serta kemampuan mahasiswa dalam mengelola berbagai masalah apapun terkait keorganisasian. Dari sini nantinya akan muncul berbagai model mahasiswa dengan beragam macam karakter dan tingkah laku. Kita bisa mulai saling mengenal satu sama lain dengan mencari kesamaan pada diri masing-masing.

0 comments: